Jumat, 10 April 2009

Minimnya Anggaran Pendidikan

KONDISI pendidikan di Indonesia terasa kian memburuk. Kualitas pendidikan di Indonesia termasuk dalam jajaran terburuk di kawasan Asia Tenggara. Indonesia menempati peringkat kedua terburuk di Asia Tenggara setelah Myanmar (UNDP 2000), setahun kemudian Political and Economic Risk Consultancy “mendaulat” pendidikan Indonesia sebagai yang terburuk di Asia. Hal yang sama juga dilaporkan oleh UNESCO dan The World Economic Forum. Untuk sektor pendidikan tinggi, empat universitas terbaik Indonesia menempati jajaran terbawah dalam peringkat universitas di wilayah Asia Pasifik versi Newsweek.

Di Indonesia pendidikan menjadi barang yang mahal. Alokasi anggaran pendidikan yang minim mengakibatkan peserta didik menjadi sumber utama pembiayaan penyelenggaraan pendidikan (selain dari penyewaan aset kampus, dan penjualan hasil penelitian). Inilah yang membuat biaya sekolah dan kuliah semakin mahal. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sudah berstatus BHMN, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) memungut uang pangkal jutaan hingga puluhan juta rupiah. UI misalnya, tahun 2005 untuk pertama kalinya menerapkan uang pangkal atau admission fee(Kompas, 21 Juli 2004). Pada saat yang bersamaan di sekolah-sekolah negeri, pada awal tahun ajaran biaya masuk siswa baru dan iuran bulanan yang ditetapkan sekolah melonjak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Minimnya alokasi anggaran untuk pendidikan telah mengakibatkan terjadinya komersialisasi atau swastanisasi pendidikan dengan berkedok pada otonomi kampus dan sekolah. bagi peserta jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebesar Rp 5 juta-Rp 25 juta dan Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp 25 juta-Rp 75 juta. UGM memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya mencapai Rp 20 juta dan berlaku untuk untuk jalur SPMB dan non-SPMB. Sementara ITB menerapkan Sumbangan Dana Pengembangan Akademik (SDPA) untuk jalur non SPMB -seperti Penelusuran Minat Bakat dan Potensi-bisa mencapai Rp 45 juta. Peserta SPMB juga dikenai uang sumbangan. Biaya tersebut belum termasuk Sumbangan Pembinaan Pendidikan atau SPP

Hingga hari ini masih terlihat belum ada keseriusan dari pemerintah dan legislatif untuk memperbaiki kondisi pendidikan yang sudah semakin buruk. Hal ini dilihat dari masih minimnya pemerintah dan legislatif mengalokasikan subsidi untuk anggaran pendidikan. Pada tahun APBN 2001, pemerintah hanya menganggarkan 4,55 % dari total APBN atau sekitar Rp. 13 triliun. Dalam APBN tahun 2002 untuk pendidikan dianggarkan Rp. 11,352 triliun atau 3,76 % dari APBN (Suara Pembaruan 14 September2002).Rp. 61.409.684.009.000,00 atau sekitar 7% lebih. Kondisi ini jauh dari amanat Undang-undang Dasar 1945 sebesar 20% atau bila melihat persentase penduduk indonesia sekitar Rp. 70 triliun. Dalam APBN 2003, anggaran untuk pendidikan hanya Rp 13,6 triliun atau sekitar 4,15 persen dari APBN, dalam APBN 2004 pemerintah dan legislatif mmberikan Rp 15,2 triliun atau 4,12 % dari APBN untuk pendidikan. Dan terakhir dalam RAPBN tahun 2007 sebesar

Dalam pengalokasian anggaran pendidikan pemerintah sering melakukan praktek-praktek yang keliru. Misalnya dalam penghitungan alokasi anggaran sektor pendidikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2004/2005. Pemerintah mengukur persentase alokasi anggaran pendidikan berdasarkan total belanja pembangunan. Padahal, seharusnya sesuai mandat UUD 1945 pasal 31, persentase anggaran pendidikan mestinya diukur dari total APBN, dan bukan dari total belanja pembangunan. Karena jika dihitung dari total anggaran belanja pembangunan, alokasi anggaran subsektor pendidikan dan Pendidikan Luar Sekolah mencapai angka 22,1 persen (Kompas, 19 Agustus 2003). Jika tidak jeli melihat, seolah-olah pemerintah sudah mengakomodir kepentingan rakyat. Padahal prosentase tersebut jauh dari yang dibutuhkan untuk kebutuhan pendidikan rakyat.

Tidak ada komentar: