skip to main |
skip to sidebar
Jurus Hemat, Bayar Pajak!
Gejolak harga minyak yang terjadi dalam dua tahun terakhir membuat politik energi Indonesia menjadi salah kaprah.Masyarakat pun jadi korban karena beban pajak bertambah.
Subsidi dan pemborosan sering disebut-sebut sebagai masalah terbesar yang dihadapi Indonesia. Terlebih jika terkait subsidi dan pemborosan di sektor energi.Maklum,sektor energi menjadi ranah yang penting bagi perekonomian Indonesia. Sebab, sektor ini tidak hanya sebagai penyedia sumber energi bagi sektor-sektor ekonomi lain, tetapi juga masih diandalkan untuk menjadi salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ketergantungan perekonomian Indonesia, dan APBN khususnya,terhadap kinerja di sektor energi nasional tampak makin jelas terlihat dalam beberapa tahun terakhir (utamanya sejak 2004/2005) seiring kecenderungan tingginya harga minyak mentah dunia. Gejolak harga minyak yang terjadi dalam dua tahun terakhir membuat politik energi Indonesia menjadi salah kaprah.
Maklum,selama ini politik energi Indonesia terpusat pada konsumsi bahan bakar minyak (BBM) .Akibatnya,pemerintah pun pusing kepala ketika harga minyak dunia menyentuh USD100 per barel akhir tahun lalu. Contohnya, karena tingginya harga minyak dunia,PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun ini diproyeksikan akan membelanjakan Rp65 triliun hingga Rp70 triliun hanya untuk membeli BBM.Subsidi pemerintah diperkirakan mencapai Rp65 triliun dari Rp25,5 triliun yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN 2008. Tak pelak,hal ini membuat subsidi dalam APBN semakin membengkak.
Setidaknya subsidi listrik sekitar Rp30 triliun per tahun menjadi satu bukti beban yang harus ditanggung pemerintah.Namun sejatinya,besarnya subsidi ini tidak lain disebabkan besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) - sekitar Rp68 triliun- sehingga menciptakan timbunan subsidi yang besarpula.Subsidi ini menguras APBN dan menciptakan struktur APBN menjadi tidak sehat. Faktor inilah yang kemudian membuat pemerintah mencari jurus jitu untuk memangkas subsidi dan menekan pemborosan.
Di satu sisi,imbauan untuk hidup hemat memang perlu didukung agar ketersediaan energi Indonesia bisa dipertahankan dan Indonesia tidak melulu terjerembab ke dalam jurang krisis energi.Tetapi,imbauan tersebut menjadi kurang tepat mengingat kecenderungan pertambahan permintaan akan energi dalam jangka panjang. Pemerintah pun menggulirkan sejumlah rencana dan program di sektor energi khususnya listrik.Salah satunya, program insentif dan disinsentif yang rencananya akan mulai diterapkan bulan ini.
Sebagai upaya penghematan, pemerintah rencananya akan membagikan sekitar 50 juta lampu hemat energi.Jurus jitu lainnya,pemerintah merencanakan akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap daya listrik 1.300 volt ampere (VA) yang notabene kebutuhan strategis konsumen rumah tangga.Tetapi, langkah ini menimbulkan pertanyaan di mata publik. Jangan-jangan ini hanya dalih bagi pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dengan cara terselubung. Maklum,pemerintah telah "terbelenggu"dengan sikap yang dibuatnya ketika menyebutkan tidak akan ada kenaikan TDL hingga 2009.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimnyu,pengenaan PPN ini agar pelanggan listrik berhemat,bukan semata-mata untuk menggenjot penerimaan pajak,apalagi berupaya menaikkan TDL. Jika pengenaan PPN -yang hingga kini terus dibahas- jadi diterapkan, setidaknya potensi peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak sebesar Rp1,5 triliun-2 triliun bisa diraih. Hal ini secara tidak langsung mengurangi subsidi.Tetapi, sejatinya pengurangan subsidi hanya akan terjadi jika terjadi pengurangan konsumsi BBM dan PLN bisa meningkatkan pendapatan operasi.
Wajar jika akhirnya muncul anggapan bahwa strategi pemerintah untuk mengurangi subsidi listrik dengan mengenakan PPN kepada pelanggan rumah tangga menengah ke bawah sebagai "cara kilat" pemerintah untuk menutup luka APBN yang telah berdarah-darah akibat politik energi yang salah kaprah tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar